Tinjauan dari perspektif hukum agama Islam
Oleh : Nurul Isnaini F
Belum lama ini kita dihebohkan dengan pemberitaan di berbagai
media massa mengenai fenomena tiga TKI yang
tewas di Malaysia
yang diduga menjadi korban perdagangan organ tubuh. Terlepas dari
benar tidaknya pemberitaan tersebut karena sampai saat ini hal ini masih
diselidiki dan perlu dibuktikan kebenarannya.
Fenomena
yang lain beberapa waktu yang lalu juga redaksi "kedaulatan Rakyat" pernah memuat dalam
pikiran pembaca seseorang yang ingin menjual ginjalnya karena ia membutuhkan dana
untuk melanjutkan kuliahnya dan karena alasan ekonomi, kondisi ini juga didukung
dengan banyaknya orang yang sulit mendapatkan donor ginjal. Seperti di
lansir “KR” tanggal 24 April 2012 dikatakan bahwa ada banyak
Negara yang melakukan praktik jual beli organ tubuh tersebut.
Fenomena di atas sungguh sangat membutuhkan perhatian
kita Perkembangan teknologi yang canggih dalam hal ini Teknologi
kedokteran modern mampu melakukan berbagai inovasi dalam bidang kedokteran. Terkait
dengan fenomena maraknya transplantasi dan jual beli organ, Secara faktual, hal
ini sangat membantu pihak-pihak yang menderita sakit untuk bisa sembuh kembali
dengan penggantian organnya yang sakit diganti dengan organ manusia lain yang
sehat. Pertanyaannya adalah bagaimana tinjauan dari perspektif hukum
Islam dan dari sudut pandang ilmu kesehatan dalam hal ini ?.
Yang dimaksud dengan transplantasi organ di sini adalah pemindahan organ tubuh dari satu manusia kepada manusia lain, seperti pemindahanan tangan, ginjal, dan jantung. Transplantasi merupakan pemindahan sebuah organ atau lebih dari seorang manusia pada saat dia hidup, atau setelah mati kepada manusia lain. Hukum transplantasi organ adalah sebagai berikut :
Yang dimaksud dengan transplantasi organ di sini adalah pemindahan organ tubuh dari satu manusia kepada manusia lain, seperti pemindahanan tangan, ginjal, dan jantung. Transplantasi merupakan pemindahan sebuah organ atau lebih dari seorang manusia pada saat dia hidup, atau setelah mati kepada manusia lain. Hukum transplantasi organ adalah sebagai berikut :
1. Transplantasi Organ Dari Donor Yang Masih Hidup:
Syara’ membolehkan seseorang pada saat
hidupnya dengan sukarela tanpa ada paksaan siapa pun untuk menyumbangkan
sebuah organ tubuhnya atau lebih kepada orang lain yang membutuhkan organ yang
disumbangkan itu, seperti tangan atau ginjal. Ketentuan itu dikarenakan
adanya hak bagi seseorang yang tangannya terpotong, atau tercongkel matanya
akibat perbuatan orang lain untuk mengambil diyat (tebusan), atau memaafkan
orang lain yang telah memotong tangannya atau mencongkel
matanya. Memaafkan pemotongan tangan atau pencongkelan mata, hakekatnya
adalah tindakan menyumbangkan diyat. Sedangkan penyumbangan diyat itu berarti
menetapkan adanya pemilikan diyat, yang berarti pula menetapkan adanya
pemilikan organ tubuh yang akan disumbangkan dengan diyatnya itu. Adanya hak milik orang tersebut
terhadap organ-organ tubuhnya berarti telah memberinya hak untuk memanfaatkan
organ-organ tersebut, yang berarti ada kemubahan menyumbang kan organ tubuhnya kepada orang lain yang
membutuhkan organ tersebut. Dan dalam hal ini Allah SWT telah membolehkan
memberikan
maaf dalam masalah qishash dan berbagai diyat. Allah SWT berfirman : “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang
diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik
(pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan suatu
rahmat.” (QS. Al Baqarah : 178)
Syarat-Syarat Penyumbangan Organ Tubuh Bagi Donor Hidup :
Syarat bagi kemubahan menyumbangkan
organ tubuh pada saat seseorang masih hidup, ialah bahwa organ yang
disumbangkan bukan merupakan organ vital yang menentukan kelangsungan hidup
pihak penyumbang, seperti jantung, hati, dan kedua paru-paru. Hal ini
dikarenakan penyumbangan organ-organ tersebut akan mengakibatkan kematian pihak
penyumbang, yang berarti dia telah membunuh dirinya sendiri. Padahal seseorang
tidak dibolehkan membunuh dirinya sendiri atau meminta dengan sukarela kepada
orang lain untuk membunuh dirinya. Allah SWT berfirman : “Dan janganlah kalian membunuh
diri-diri kalian.” (QS. An Nisaa’ : 29) Allah SWT berfirman pula
: “…dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS. Al An’aam : 151)
Demikian pula seorang laki-laki tidak
dibolehkan menyumbangkan dua testis (zakar), meskipun hal ini tidak akan
menyebabkan kematiannya, sebab Rasulullah SAW telah melarang pengebirian/pemotongan
testis (al khisha’), yang akan menyebabkan kemandulan. Begitu juga untuk
penyumbangan satu buah testis, kendatipun hal ini tidak akan membuat penyumbangnya
menjadi mandul. Ini karena sel-sel kelamin yang terdapat dalam organ-organ
reproduktif yaitu testis pada laki-laki dan indung telur pada perempuan
merupakan sub stansi yang dapat menghasilkan anak, sebab kelahiran manusia
memang berasal dari sel-sel kelamin. Dalam testis terdapat sel-sel penghasil
sel-sel sperma mengingat testis merupakan pabrik penghasil sel sperma. Dan
testis akan tetap menjadi tempat penyimpanan yakni pabrik penghasil sel sperma dari
sel-selnya baik testis itu tetap pada pemiliknya atau pada orang yang
menerima transplantasi testis dari orang lain. Atas dasar itu, maka
kromosom anak-anak dari penerima transplantasi testis, sebenarnya berasal dari
orang penyumbang testis, sebab testis yang telah dia sumbangkan itulah yang
telah menghasilkan sel-sel sperma yang akhirnya menjadi anak. Karena itu,
anak-anak yang dilahirkan akan mewarisi sifat-sifat dari penyumbang testis dan
tidak mewarisi sedi kitpun sifat-sifat penerima sumbangan testis. Jadi pihak
penyumbang testislah yang secara biologis menjadi bapak mereka. Maka dari itu,
tidak dibolehkan menyumbangkan satu buah testis, sebagaimana tidak dibolehkan
pula menyumbangkan dua buah testis. Sebab, menyumbangkan dua buah testis akan
menyebabkan kemandulan pihak penyumbang. Di samping itu, menyumbangkan satu
atau dua buah testis akan menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab.
Padahal Islam telah mengharamkan hal ini.
2. Hukum Transplantasi Dari Donor Yang Telah Meninggal :
Hukum tranplanstasi organ dari
seseorang yang telah mati berbeda dengan hukum transplantasi organ dari
seseorang yang masih hidup. Untuk mendapatkan kejelasan hukum
trasnplantasi organ dari donor yang sudah meninggal ini, terlebih dahulu harus
diketahui hukum pemilikan tubuh mayat, hukum kehormatan mayat, dan hukum
keadaan darurat. Mengenai
hukum pemilikan tubuh seseorang yang telah meninggal, Abdul Qodim zallum (dalam kitabnya Hukmu Asy Syar’i fi Al Istinsakh) berpendapat
bahwa tubuh orang tersebut tidak lagi dimiliki oleh seorang pun. Sebab dengan
sekedar meninggalnya seseorang, sebenarnya dia tidak lagi memiliki atau
berkuasa terhadap sesuatu apapun, entah itu hartanya, tubuhnya, ataupun
isterinya. Oleh karena itu dia tidak lagi berhak memanfaatkan tubuhnya,
sehingga dia tidak berhak pula untuk menyumbangkan salah satu organ tubuhnya
atau mewasiatkan
penyumbangan organ tubuhnya. Berdasarkan
hal ini, maka seseorang yang sudah mati tidak dibolehkan menyumbangkan organ
tubuhnya dan tidak dibenarkan pula berwasiat untuk menyumbangkannya. Sedangkan
mengenai kemubahan mewasiatkan sebagian hartanya, kendatipun harta bendanya
sudah di luar kepemilikannya sejak dia meninggal, hal ini karena Asy-Syari’
(Allah) telah mengizinkan seseorang untuk mewasiatkan sebagian hartanya hingga
sepertiga tanpa seizin ahli warisnya. Jika lebih dari sepertiga, harus seizin
ahli warisnya. Adanya izin dari Asy Syari’ hanya khusus untuk masalah harta
benda dan tidak mencakup hal-hal lain. Izin ini tidak mencakup pewasiatan
tubuhnya. Karena itu dia tidak berhak berwasiat untuk menyumbangkan salah satu
organ tubuhnya setelah kematiannya. Mengenai hak ahli waris, maka Allah
SWT telah mewaris kan
kepada mereka harta benda si mayit, bukan tubuhnya. Dengan demikian, para ahli
waris tidak berhak menyumbangkan salah satu organ tubuh si mayit, karena mereka
tidak memiliki tubuh si mayit, sebagaimana mereka juga tidak berhak memanfaatkan
tubuh si mayit tersebut. Padahal syarat sah menyumbangkan sesuatu benda, adalah
bahwa pihak penyumbang berstatus sebagai pemilik dari benda yang akan
disumbangkan, dan bahwa dia mempunyai hak untuk memanfaatkan benda terse but.
Dan selama hak mewarisi tubuh si mayit tidak dimiliki oleh para ahli waris,
maka hak pemanfaatan tubuh si mayit lebih-lebih lagi tidak dimiliki oleh selain
ahli waris, bagaimanapun juga posisi atau status mereka. Karena itu, seorang
dokter atau seorang penguasa tidak berhak memanfaatkan salah satu organ tubuh seseorang yang
sudah meninggal untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkannya. Adapun
hukum kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya, maka Allah SWT telah
menetapkan bahwa mayat mempunyai kehormatan yang wajib dipelihara sebagaimana
kehormatan orang hidup. Dan Allah telah mengharamkan pelanggaran terhadap
kehormatan mayat sebagaimana pelanggaran terhadap kehormatan orang hidup. Allah
menetapkan pula bahwa menganiaya mayat sama saja dosanya dengan menganiaya
orang hidup. Diriwayatkan dari A’isyah Ummul Mu’minin RA bahwa Rasulullah
SAW bersabda : “Memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang
orang hidup.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban).
Hadits di atas secara jelas menunjukkan
bahwa mayat mempunyai kehormatan sebagaimana orang hidup. Begitu pula melanggar
kehormatan dan menganiaya mayat adalah sama dengan melanggar kehormatan dan
menganiaya orang hidup. Dan sebagaimana tidak boleh menganiaya orang hidup
dengan membedah perutnya, atau memenggal lehernya, atau mencongkel matanya,
atau memecahkan tulangnya, maka begitu pula segala penganiayaan tersebut tidak
boleh dilakukan terhadap mayat. Sebagaimana haram menyakiti orang hidup dengan
mencaci maki, memukul, atau melukainya, maka demikian pula segala perbuatan ini
haram dilakukan terhadap mayat. Hanya
saja penganiayaan terhadap mayat dengan memecahkan tulangnya, memenggal lehernya, atau
melukainya, tidak ada denda (dlamaan) padanya sebagaimana denda pada penganiayaan
orang hidup. Sebab Rasulullah SAW tidak menetapkan adanya denda sedikit pun
terhadap seseorang yang telah memecahkan tulang mayat di hadapan beliau, ketika
orang itu sedang menggali kubur. Rasulullah SAW hanya memerintahkan orang itu
untuk memasukkan potongan-potongan tulang yang ada ke dalam tanah. Dan
Rasulullah menjelaskan kepadanya bahwa memecahkan tulang mayat itu sama dengan
memecahkan tulang hidup dari segi dosanya saja. Tindakan mencongkel mata mayat,
membedah perutnya untuk diambil jantungnya, atau ginjalnya, atau hatinya, atau
paru-parunya, untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkannya,
dapat dianggap sebagai mencincang mayat. Padahal Islam telah melarang perbuatan
ini. Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah bin Zaid Al Anshari ra, dia
berkata, “Rasulullah SAW telah melarang (mengambil) harta hasil rampasan dan
mencincang (mayat musuh).”
Dengan penjelasan fakta hukum mengenai
pelanggaran kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya ini, maka jelaslah
bahwa tidak dibolehkan membedah perut mayat dan mengambil sebuah organnya untuk
ditransplantasikan kepada orang lain. Ini karena tindakan tersebut dianggap
sebagai pelanggaran terhadap kehormatan mayat serta merupakan penganiayaan dan
pencincangan terhadapnya. Padahal melanggar kehormatan mayat dan mencincangnya
telah diharamkan secara pasti oleh syara’.
Keadaan Darurat
Keadaan darurat adalah keadaan di mana
Allah membolehkan seseorang yang terpaksa yang kehabisan bekal makanan, dan
kehidupannya terancam kematian untuk memakan apa saja yang didapatinya dari
makanan yang diharamkan Allah, seperti bangkai, darah, daging babi, dan
lain-lain. Apakah dalam keadaan seperti ini dibolehkan mentransplantasikan
salah satu organ tubuh mayat untuk menyelamatkan kehidupan orang lain, yang
kelangsungan hidupnya tergantung pada organ yang akan dipindahkan kepadanya? Untuk
menjawab pertanyaan itu harus diketahui terlebih dahulu hukum darurat, sebagai
langkah awal untuk dapat mengetahui hukum transplantasi organ tubuh dari orang
yang sudah mati kepada orang lain yang membutuhkannya. Mengenai hukum darurat, maka Allah SWT
telah membolehkan orang yang terpaksa yang telah kehabisan bekal makanan, dan
kehidupannya terancam kematian untuk memakan apa saja yang didapatinya dari
makanan yang diharamkan Allah seperti bangkai, darah, daging babi, dan
lain-lain hingga dia dapat mempertahankan hidupnya. Allah SWT berfirman
: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai,
darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain
Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaaan terpaksa (memakannya) sedang dia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
atas nya.” (QS. Al Baqarah : 173)
Maka orang yang terpaksa tersebut boleh memakan makanan haram
apa saja yang didapatinya, sehingga dia dapat memenuhi kebutuhannya dan
mempertahankan hidupnya. Kalau dia tidak mau memakan makanan tersebut lalu
mati, berarti dia telah berdosa dan membunuh dirinya sendiri. Padahal Allah SWT
berfirman : “Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian.” (QS. An Nisaa’
: 29).
Dari penjelasan di atas, dapatkah hukum
darurat tersebut diterapkan dengan jalan Qiyas pada fakta transplantasi organ
dari orang yang sudah mati kepada orang lain yang membutuhkannya guna menyelamatkan
kehidupannya? Jawabannya memerlukan pertimbangan, sebab syarat
penerapan hukum Qiyas dalam masalah ini ialah bahwa ‘illat (sebab penetapan
hukum) yang ada pada masalah cabang sebagai sasaran Qiyas yaitu transplantasi
organ harus juga sama-sama terdapat pada masalah pokok yang menjadi sumber
Qiyas yaitu keadaan darurat bagi orang yang kehabisan bekal makanan baik pada
‘illat yang sama, maupun pada jenis ‘illatnya. Hal ini karena Qiyas
sesungguhnya adalah menerapkan hukum masalah pokok pada masalah cabang, dengan
perantaraan ‘illat pada masalah pokok. Maka jika ‘illat masalah cabang tidak
sama-sama terdapat pada masalah pokok dalam sifat keumumannya atau
kekhususannya maka berarti ‘illat masalah pokok tidak terdapat pada masalah
cabang. Ini berarti hukum masalah pokok tidak dapat diterapkan pada masalah
cabang. Dalam kaitannya dengan masalah transplantasi, organ yang
ditransplantasikan dapat merupakan organ vital yang diduga kuat akan dapat
menyelamatkan kehidupan, seperti jantung, hati, dua ginjal, dan dua paru-paru.
Dapat pula organ tersebut bukan organ vital yang dibutuhkan untuk menyelamatkan
kehidupan, seperti dua mata, ginjal kedua (untuk dipindahkan kepada orang yang
masih punya satu ginjal yang sehat), tangan, kaki, dan yang semisalnya. Mengenai
organ yang tidak menjadi tumpuan harapan penyelamatan kehidupan dan
ketiadaannya tidak akan membawa kematian, berarti ‘illat masalah pokok yaitu
menyelamatkan kehidupan tidak terwujud pada masalah cabang (transplantasi).
Dengan demikian, hukum darurat tidak dapat diterapkan pada fakta transplantasi.
Atas dasar itu, maka menurut syara’ tidak dibolehkan mentransplantasikan mata,
satu ginjal (untuk dipindahkan kepada orang yang masih mempunyai satu ginjal
yang sehat), tangan, atau kaki, dari orang yang sudah meninggal kepada orang
lain yang membutuhkannya. Sedangkan organ yang diduga kuat menjadi tumpuan
harapan penyelamatan kehidupan, maka ada dua hal yang harus diperhatikan : Pertama, ‘Illat yang terdapat pada masalah cabang (transplantasi) yaitu
menyelamatkan dan mempertahankan kehidupan tidak selalu dapat dipastikan
keberadaannya, berbeda halnya dengan keadaan darurat. Sebab, tindakan orang
yang terpaksa untuk memakan makanan yang diharamkan Allah SWT, secara pasti
akan menyelamatkan kehidupannya. Sedangkan pada transplantasi jantung, hati,
dua paru-paru, atau dua ginjal, tidak secara pasti akan menyelamatkan kehidupan
orang penerima organ. Kadang-kadang jiwanya dapat diselamatkan dan
kadang-kadang tidak. Ini dapat dibuktikan dengan banyak fakta yang terjadi pada
orang-orang yang telah menerima transplantasi organ. Karena itu, ‘illat pada
masalah cabang (transplantasi) tidak terwujud dengan sempurna. Kedua, Ada syarat lain dalam
syarat-syarat masalah cabang dalam Qiyas, yaitu pada masalah cabang tidak
dibenarkan ada nash lebih kuat yang bertentangan dengannya (ta’arudl raa jih),
yang berlawanan dengan apa yang dikehendaki oleh ‘illat Qiyas. Dalam hal ini
pada masalah cabang yakni transplantasi organ telah terdapat nash yang lebih
kuat yang berlawanan dengan apa yang dikehendaki ‘illat Qiyas, yaitu keharaman
melanggar kehormatan mayat, atau keharaman menganiaya dan mencincangnya. Nash
yang lebih kuat ini, bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh ‘illat
masalah cabang (transplantasi organ), yaitu kebolehan melakukan transplantasi. Berdasarkan dua hal di atas, maka
tidak dibolehkan mentransplantasikan organ tubuh yang menjadi tumpuan harapan
penyelamatan kehidupan seperti jantung, hati, dua ginjal, dua paru-paru dari
orang yang sudah mati yang terpelihara darahnya (ma’shumud dam) baik dia seorang
muslim, ataupun bukan kepada orang lain yang kehidupannya tergantung pada organ
yang akan ditransplantasikan kepadanya.
Dari keterangan dan penjelasan di atas, jelaslah mengenai masalah hukum transpaltasi organ menurut Islam. Adapun hukum dalam hal menjual belikan bagian anggota badan adalah haram dan tidak sah menurut keterangan dalam kitab Madzaahibul Arba’ah, jilid II, halaman 34. " Waminhaa Sya'rul insaani Liannahu Laa Yajuuzul intifaa'u bihi ".
Dari keterangan dan penjelasan di atas, jelaslah mengenai masalah hukum transpaltasi organ menurut Islam. Adapun hukum dalam hal menjual belikan bagian anggota badan adalah haram dan tidak sah menurut keterangan dalam kitab Madzaahibul Arba’ah, jilid II, halaman 34. " Waminhaa Sya'rul insaani Liannahu Laa Yajuuzul intifaa'u bihi ".
Wallohua’lam
bishowab
Mode in committing crimes in this country increasingly diverse and well-organized. The perpetrators who want to get the coffers rupiah quickly and not least of all the methods , even with the buying and selling of human organs .
BalasHapusjudi togel singapura terbesar